Dengan hipotesisnya yang, boleh disebut, ateisistik-brutal, Sigmund Freud berlabuh pada kesimpulan ekstrem bahwa simbol-simbol dan ritual-ritual agama, dan tentunya juga pemeluk-pemeluknya, sama dengan perilaku pasien-pasien neurotisnya di rumah sakit jiwa. Agama adalah ilusi-ilusi kegilaan, sebagaimana kegilaan yang diidap para penghuni rumah sakit jiwa di tempatnya bekerja.
Semua ritual agama adalah bullshit bagi Freud. Bukankah, dengan analogi yang gahar, perbuatan-perbuatan yang tak dapat dijabarkan oleh rumus-rumus logika-fisika-eksakta itu hanyalah kesia-siaan, cermin kebingungan, kegelisahan, kecurigaan, ketakutan, dan karenanya sama persis dengan tingkah-laku orang gila dalam gelak-tawa, cengar-cengir, dan sebagainya?
Tetapi, ada satu hal yang sangat digelisahkan oleh Freud, mengapa mayoritas manusia mempertahankan kegilaan itu dengan landasan keyakinan yang sangat ultrafanatis? Apakah, jika mengikuti logika Freud, semua manusia telah gila? Lantas, kalau memang demikian, bagaimana kita mesti membedakan kegilaan dengan kesehatan, kesetanan dengan kemanusiaan?
Hans Küng menguraikannya dengan kritis dalam buku ini.
Judul Buku: Ateisme Sigmund Freud [edisi 2019]
Penulis: Hans Küng
Penerjemah: Edi AH Iyubenu
Penerbit: Basa Basi, 2019
Kategori: Filsafat
ISBN: 9786026651006
Bahasa: Indonesia
Dimensi: 14x20 cm | Softcover
Tebal: 172 hlm | Bookpaper