Kita terjebak di toko pakaian
yang menutup dirinya
ketika semua orang telanjang *
Selama lima tahun ini, saya hidup di kota Kairo. Orang desa yang terbiasa dengan kelambanan ini, harus mengais sisa-sisa diri sendiri yang setiap hari mampat di gorong-gorong gelap kota ini. Lalu saya pun bertanya: Di manakah letak puisi di tengah pusaran kalkulasi? Apakah puisi masih berguna? Kalau iya, lantas untuk apa? Untuk hiburan dari penatnya menjalani rutinitas harian? Di tengah kota, tanah yang tanpa penduduk justru karena penuh sesak diduduki orang, puisi bisa saja bunuh diri seperti kebanyakan orang depresi. Tetapi puisi adalah kesunyian masing-masing, barangkali seperti nasib. Lantas kenapa jika puisi adalah kesunyian? Di kota, bukan tidak mungkin ada kesunyian. Kesunyian itu masih ada, tapi orang tak pernah merasakan kelambanan. Dan puisi, dengan lapisan maknanya, tak mungkin terhayati tanpa kelambanan.
Harus saya akui, puisi yang saya tulis adalah perpaduan antara kelambanan dan keserba-cepatan, antara desa dan kota.
Judul Buku: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi
Penulis: M.S. Arifin
Penerbit: Basa Basi, 2019
Kategori: Puisi
ISBN: 9786237290421
Dimensi: 14x20 cm l Softcover
Tebal: 110 hlm l Bookpaper