Dalam kenyataan sejarah, agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Konteks yang sedemikian lalu menyeret agama ke suatu wilayah yang cukup politis: ia menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok. Nama Tuhan, yakni Sang Penguasa Agama, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?
Buku ini merupakan kumpulan dari kolom-kolom Gus Dur yang dimuat (alm) Majalah Tempo lama, pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an. Kolom-kolom tersebut mewakili suatu fase dari kehidupan Gus Dur, yakni fase murni intelektual. Dari sini, dapat pula dilihat betapa luas spektrum yang menjadi concern Gus Dur. Tapi, yang paling kental dari kesemua itu adalah inklusivitas keislaman Gus Dur dan kepeduliannya terhadap pengembangan demokrasi di Indonesia.
Dalam kenyataan sejarah, agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Konteks yang sedemikian lalu menyeret agama ke suatu wilayah yang cukup politis: ia menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok. Nama Tuhan, yakni Sang Penguasa Agama, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?
Judul Buku: Tuhan tidak perlu dibela
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : IRCiSoD
Tebal : 312 hlm | Book Paper
Dimensi: 14x20 cm | Soft Cover
Harga Normal: 80.000