Image of a product
Image of a product
Image of a product

Berdikari - Surti dan Tiga Sawunggaling - Gramedia

Rp 100,000
Rp 90,000
10%
Beberapa saat kemudian setelah aku dengar semua yang dikatakan Cawir, aku bertanya ke sawunggaling itu, benarkah perempuan yang tak kukenal itu berkata demikian, ataukah ada sesuatu yang menyusun cerita itu dari luar dirinya? Mungkin mimpi. Aku ingat Jen mengatakan, yang menemui mimpi, akan membentuk mimpi. Dan aku ingat ibuku berkata, mimpi itu pringgondani, motif yang ruwet. Tidur ibarat mori putih, menampung semuanya tanpa pola: garis-garis parang yang miring dan lurus; ukel naga yang ke sana kemari. Tapi kita coba juga menceritakannya — dan kata-kata kita pun membentuk, memotong-motong, menyembunyikan, melupakan sebagiansebagian. Aneh, Ibu —kali ini aku ingat Niken yang berkata— kita yakin mimpi tak berubah. Goenawan Mohamad, dalam usia 77, menulis novel pertamanya. Surti + Tiga Sawunggaling dikembangkan dari sebuah lakon yang ditulisnya di tahun 2010. Latar novel kecil ini sebuah kota fiktif di Pantai Utara Jawa Tengah, Juli 1947, beberapa hari setelah Tentara Kerajaan Belanda melancarkan agresi ke wilayah Indonesia yang baru berusia kurang dua tahun. Goenawan dikenal sebagai eseis, penyair dan penulis lakon. Selain Catatan Pinggir jilid ke-12, buku esei terakhirnya Majenun dan Sayid Hamid, sebuah percakapan tentang Don Quixote. Buku puisinya paling belakangan Fragmen, dan lakonnya Amangkurat, Amangkurat. Goenawan kini juga mulai dikenal sebagai perupa, dengan beberapa pameran di Jakarta dan Yogya. Judul Buku: Surti dan Tiga Sawunggaling Penulis: Goenawan Mohamad Penerbit: Gramedia, 2018 Tebal: 103 hlm | Bookpaper Dimensi: 13 x 20 cm | Hard Cover
 
 :
 :
300g