Pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, kelas bangsawan atau elite kerajaan (raja dan keluarganya atau kaum priayi) menganggap bisnis atau berdagang sebagai aktivitas kotor dan rendahan. Pandangan ini terus dipertahankan secara turun-temurun. Namun, setelah Indonesia merdeka, dan terutama pada era post-reformasi, pandangan tersebut mulai goyah dan bergeser. Puncaknya adalah ketika muncul kebijakan otonomi daerah.
Kebijakan otonomi daerah telah mengubah banyak hal, di antaranya soal pendapatan daerah. Jika sebelumnya pendapatan daerah digenggam oleh pusat, saat ini daerah dapat mengatur sendiri sumber pendapatannya. Ini memengaruhi pandangan tradisional. Di satu sisi, pandangan tradisional mengganggap tidak etis kaum priayi berbisnis, di sisi lain bisnis menjadi sumber pendapatan daerah, yang tujuannya adalah untuk mengembangkan dan memajukan daerah. Maka mau tak mau mereka mesti terlibat dalam bisnis.
Benturan antara pandangan tradisional tersebut dengan pandangan modern pada era post-reformasi itulah yang jadi topik utama buku ini. Menyorot kasus bisnis keluarga Keraton Jogja bersama perusahaan rokok dan lain-lainnya yang kian ekspansif hingga sekarang, buku ini menganalisis secara tajam dan menjelaskan secara gamblang bagaimana dinamika bisnis priayi. Dari sejarahnya, konsep bisnis priayi menurut etika Jawa, gaya hidup priayi, persinggungan budaya lokal dengan kehidupan modern yang kapitalistik, hingga dalih otonomi daerah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
***
“Dengan analisis sejarah dan politik yang tajam, Muhammad Syukri menunjukkan bagaimana elite tradisional menavigasi kekuasaan, legitimasi, dan otoritas di tengah pertemuan antara struktur tradisional dan sistem modern di Indonesia.”
—Sudarno Sumarto, ekonom dan visiting scholar di Harvard Kennedy School
Penulis: Muhammad Syukri
Penerbit: Alvabet, 2025
Kategori: Sosial
ISBN: 978-623-220-213-9
SKU: BRD23581
Bahasa: Indonesia
Dimensi: 15 x 23 cm l Softcover
Tebal: 352 hlm | Bookpaper
Harga: 115.000