Di tengah dinamika intelektual abad ke-14, Imam at-Taftazani menyusun Syarḥ al-’Aqâid an-Nasafiyyah, sebuah komentar mendalam atas al-’Aqâid an-Nasafiyyah karya Imam
an-Nasafi, teolog Mazhab Maturidiyah. Karya ini bukan hanya penjelasan, melainkan sintesis brilian antara tradisi Maturidiyah yang rasional dengan corak Asy’ariyah yang tekstual, sekaligus benteng argumen melawan aliran filsafat dan teologi yang dianggap menyimpang.
Imam at-Taftazani membuka pembahasannya dengan tauhid, menguraikan sifat-sifat Allah dengan ketelitian logis. Ia membagi sifat Ilahi menjadi dzâtiyah dan fi’liyah sambil menolak keras antropomorfisme—menegaskan transendensi mutlak Allah. Di sini, ia berpolemik dengan Mu’tazilah yang membatasi kehendak Allah melalui konsep “keadilan” manusiawi, seraya menekankan kekuasaan-Nya yang absolut atas takdir. Namun, ia tak terjebak dalam determinisme; melalui konsep kasb (usaha manusia), ia merajut harmoni antara kuasa ilahi dan kebebasan terbatas manusia, layaknya tarian metafisik antara takdir dan ikhtiar.
Melangkah ke ranah kenabian, Imam at-Taftazani memaparkan mukjizat sebagai bukti tak terbantahkan kebenaran Nabi Muhammad. Ia menegaskan kemurnian para nabi dari dosa (maksum) dan menutup pintu kenabian setelah Rasulullah (khatam an-nubuwwah), seraya menepis klaim kelompok sempalan. Narasinya dipenuhi kebanggaan akan Islam sebagai agama final, dengan syariat yang sempurna dan universal.
Ketika membahas hari akhir, ia tak hanya menggambarkan surga-neraka secara imajinatif, tetapi juga membangun argumentasi rasional tentang kebangkitan jasmani. Dengan analogi kuasa Allah yang mencipta dari ketiadaan, ia menjawab skeptisisme filsuf yang meragukan kebangkitan tubuh hancur. Timbangan amal (mîzân) dan jembatan di atas neraka (shirâth) ia jelaskan sebagai simbol keadilan ilahi, bukan sekadar alegori.
Pada puncaknya, Imam at-Taftazani menyentuh hakikat iman. Baginya, iman ialah pembenaran hati dan pengakuan lisan—tanpa mensyaratkan kesempurnaan amal. Di sini, ia
bersitegang dengan Khawarij yang menyempitkan iman pada ritual, atau Mu’tazilah yang mengaitkannya dengan moralitas. Baginya, pelaku dosa besar tetap muslim selama tak
mengingkari hukum Allah (istiḥlâl), sebuah prinsip inklusivitas yang menjadi jiwa Ahlusunnah.
Sepanjang kitab, Imam at-Taftazani berjalan di garis tipis antara akal dan wahyu. Ia memanfaatkan logika Aristotelian untuk membedah konsep teologis, seperti ketika
mengkritik Ibnu Sina yang meyakini keqadiman alam, atau menangkis pandangan Syiah tentang imamah. Namun, ia tetap berakar pada al-Quran dan hadis, menolak reduksi filsafat yang mengabaikan otoritas wahyu. Karya ini adalah upaya merajut harmoni: Memadukan rasionalitas Maturidiyah dengan keteguhan Asy’ariyah dalam mempertahankan tradisi.
Penulis: Imam at-Taftazani
Penerbit: Turos Pustaka, 2025
Kategori: Pustaka Islam
ISBN: 9786238661138
SKU: BRD23632
Bahasa: Indonesia
Dimensi: 14 x 21 cm l Softcover
Tebal: 384 hlm | Bookpaper
Harga: 104.000