DUA DASAWARSA NIRPIDANA Kelemahan UU Pengadilan HAM dan Gagalnya Negara Menegakkan Keadilan.
Kini, gagalnya penegakan hukum dan HAM bukan lagi disebabkan oleh lemahnya UU Pengadilan HAM, tetapi ditentukan oleh keberanian negara, terutama pemerintah untuk menyelesaikan atau tidak. Sedangkan rekonsiliasi yang disosialisasikan sejak November 1999 telah memecah belah kemauan korban/keluarga korban: ada yang menuntut penyelesaian secara yudisial, ada yang menuntut secara non-yudisial.
— Maria Katarina Sumarsih, Ibunda B.R. Norma Irawan (Wawan) korban Tragedi Semanggi I
Buku ini sangat menarik karena berisi kritikan-kritikan yang bisa jadi rekomendasi untuk pemerintah dalam melakukan perubahan pada semua regulasi HAM yang ada di Indonesia, dalam rangka pencapaian dan implementasi penegakan HAM.
— Prof.Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A., Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Kajian oleh Insersium dan KontraS ini menjawab keresahan saya terkait pragmatisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tak kunjung tuntas di Indonesia. Mengapa pemidanaan begitu sulit menghadirkan keadilan dan memutus impunitas di negeri yang pemerintahnya gampang lupa pada kesewenangan yang dilakukan terhadap warganya, dan bagaimana prospek bagi keadilan untuk korban yang berdekade hanya menunggu janji-janji manis mereka yang berkampanye untuk jadi pemimpin? Saya berutang terima kasih untuk Insersium dan KontraS, karena akhirnya ada kajian berkualitas yang bisa berkontribusi secara bermakna untuk kita semua melakukan introspeksi, dan pastinya mereposisi diri dan strategi, untuk terus berjuang menghadirkan keadilan dan memutus impunitas di negeri ini.
— Sri Lestari Wahyuningroem, Ph.D. Akademisi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Problem impunitas tak sekadar lahir dari situasi ketidakprofesionalan aparat hukum, melainkan berkaitan erat dengan rusaknya sistem politik kekuasaan yang anti-demokrasi. Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat, negara menggunakan instrumentasi politik hukum formalnya. Peradilan dalam konteks itu, justru dimanfaatkan sebagai penopang yudisialisasi kepentingan kekuasaan, sehingga memerlukan cara pandang baru untuk lebih mendalam melihat realias otoritarianisme politik hari ini. Buku ini sungguh membantu menuntun memahami betapa peradilan, impunitas, inisiatif mekanisme politik hukumnya, menjelaskan cara pandang melihat bekerjanya kekuasaan yang sesungguhnya tak hanya memperbincangkan sistem hukum yang terpasung dalam kuasa politiknya, melainkan menjelaskan sistematisnya kegagalan negara melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.
— Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A., Ph.D., Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Implementasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia selama 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa pengaturan dalam UU tersebut belum maksimal dalam memastikan diselenggarakannya Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dari terhambatnya proses hukum terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat sampai saat ini.
Buku ini merupakan hasil penelitian dan diskusi selama satu setengah tahun oleh Insersium Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Tajuk besar yang dieksplorasi di dalam lembaran-lembarannya adalah dinamika keadilan transisi (transitional justice) di Indonesia, terkhusus menyangkut pengadilan hak asasi manusia (HAM) yang diatur melalui UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Diterbitkan atas kerja sama ULTIMUS, KontraS, dan INSERSIUM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Penulis: Abdul Munif Ashri, dkk.
Penerbit: Ultimus, 2025
Kategori: Sospol
ISBN: 9786238852482
SKU: BRD23924
Bahasa: Indonesia
Dimensi: 14,5 x 21 cm l Softcover
Tebal: xxiv, 256 hlm | HVS
Harga: 105.000