
Toko Serba Ada: Puisi-puisi Galeh Pramudianto
Oleh: Galeh Pramudianto Diposkan: 06 Oct 2018 Dibaca: 2549 kaliTinggal Bahasa
Aku rindu eskalator yang membawaku sampai di lembah baju-baju
Kentang goreng, susu kotak dan jus melon merekah dalam kantong belanjaan.
Aku rindu pada ibu yang berbincang dengan kliennya
bersama donat dan mochaccino di sudut ruko-ruko.
Aku rindu bertemu Wiji dan Warhol
O, apa mereka sarapan satu meja?
Aku rindu pada reklame di buvelar,
menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam dekapan kaleng soda.
Di praja aku tertinggal oleh lampu-lampu,
ditawan kartu kredit dan dijajah gosip-gosip.
Kini hanya bahasaku sahaja yang masih setia mengampu.
Kepada Subagio di Angkasa Luar
telah aku beritakan kepada semesta
bahwa kau telah puisi di pelbagai gugus galaksi
di lengkung bumi pada ragam atmosfer
kerinduan jelma debar tak bertepi di ruang misner
dan waktu adalah ibu dari segala ibu
dan kata adalah jawab dari ragam terka.
Variasi dari Galaksi
menatap alam semesta yang luas
di mana aku berada
aku ingin tahu betapa indahnya
alamat bumi tertata
hingga ke ruang teramat jauh
gugus galaksi virgo
dan supergugus laniakea
jika aku lebih dekat
akankah bintang-bintang
membakar tanah tubuhku
asteroid menghantamku
dan aku pergi tanpa gravitasi
atau bisa saja kian lincah
dan terus menjelajah
aku merasa galaksi
mengalir melalui
pembuluh darahku
bimasakti meluap
dari perutnya
setelah kosmos
dalam diriku
aku tahu kita masih menatap
bintang-bintang penuh harap
mengangankannya tenggelam di mataku
tapi waktu tak pernah dulu
maka aku akan menelanmu
di lengkung lubang hitam
agar kesepian ini lekas runtuh
mengkristal hingga anestesi
dan suatu hari
bintang akan meledak
menjadi supernova
dan kecemasan lainnya
tapi aku masih merasa
beting itu terus
membentang
setiap hari bersama
buatku tenang
dengan begitu banyak
orang memandang
dengan lengkung senyum
di lesung pipi yang ranum.
baca juga: A Tribute to Dangdut
Di Toko Suvenir
Ini terbuat dari kronologi sejarah. Ini terbuat dari pusaka budaya. Ini terbuat dari cita-cita. Ini terbuat dari luka-luka kota. Ini terbuat dari cinta lampu lalu lintas kepada trotoar dan helm motor. Ini terbuat dari kenangan jejak kekasih kita. Ini terbuat dari lampu hotel yang memandang resepsionis dan tamu. Ini terbuat dari koper baju pegawai dan karyawan swasta. Ini terbuat dari pelajaran sejarah di sekolah menengah pertama. Ini terbuat dari koreng sehabis jatuh bermain sepakbola. Ini terbuat dari lebam kecelakaan kendaraan bermotor di perempatan jalan. Ini terbuat dari gelak tawa rumah sewaan. Ini terbuat dari tayangan sinetron episode kesekian.
Ini terbuat dari rencana pendidikan masa depan. Ini terbuat dari beasiswa yang salah alamat. Ini terbuat dari tiket bioskop dan teater. Ini terbuat dari konser dangdut dan metal. Ini terbuat dari mimpi kuis-kuis milyaran. Ini terbuat dari janji seorang anggota dewan kepada telinga memar. Ini terbuat dari kulit kambing dan buaya yang haus rumput dan daging. Ini terbuat dari gading gajah yang telah terjajah. Ini terbuat dari duduk di pinggir jalan. Ini terbuat dari arisan keluarga. Ini terbuat dari rapat-rapat. Ini terbuat dari ruang dan kelas. Ini terbuat dari brosur-brosur wisata. Ini terbuat dari cicilan motor. Ini terbuat dari tugu dan maskot kota. Ini terbuat dari debu dan knalpot. Ini terbuat dari mesin cuci yang banyak menampung kepahitan. Ini terbuat dari dompet yang mencintai anak tiri. Ini terbuat dari anak kandung belum pulang.
Ini terbuat dari kabar diculik penjahat.
Palangka Raya, 2014
Sinfonietta Janacek dan Rumah Umbu
I
aku menimbang tandatanya di benak
akankah taufan gejolak di pucuk paling teduh?
pada sebuah malam lengkingan menuntun perjamuan senyap
“tiada obat, selain puisi dan kesunyian yang lindap.”
mengapa bahasa seperti musik
yang menuntun kita dari kegelapan?
pada sebuah anggur yang memabukkan
mengundang hawa perlahan
“tiada tawa, selain selimut dalam salju dan embun.”
ah, adakah rupa jenawi tiada pada rusuk yang meruah darah?
“keheningan purba,” ia menjawab.
dengan hujan di luar
piringan hitam itu
menebalkan ingatan kita,
kasih.
II
tidur adalah kesulitan abad ini
di antara sinyal dan kepenatan hari kerja
kota memijat kantongmatakita dari derap polusi ruang
o, apa yang diharapkan dari tidur
dan puisi yang membangun kediaman kita?
“puisi itu seperti memijat mata,
kalau sudah lihat puisi, saya bisa tidur.”
umbu menemukanmu
dalam ngaji yang sedu itu
: puk.
Yogyakarta, 2017
Rubrik Konsultasi Arsitektur Rumah
—Hasan Aspahani
Bapak, aku harus bagaimana?
rumahku terbuat dari tsunami
kalau siang terbuat dari api.
Api itu tak kuat menahan muntahan bah air.
Aku harus bagaimana? Apa aku harus pindah rumah?
Meninggalkan anak-anakku dalam kepungan banjir?
Semoga bapak bisa menjawab dengan cepat dan tepat
karena sekarang aku sedang berenang di atap rumahku.
Depok, 2017
Sidik Jari
—Ahmad Yulden Erwin
puisi ini ditulis
di telapak tanganku
kamu hapus dengan keringat
dari permukaan tanganmu
puisi ini dibaca
di sidik jari
menuju nubuat
keringatmu.
Wadassari, 2018
Toko Serba Ada
—Afrizal Malna
kakak mau beras? ada. berapa liter? ada. minyak goreng? ada. telur ayam? sudah menetas juga ada. kopi plastik? sudah diseduh juga ada. samphoo, sabun, pasta gigi dan sikat gigi? ada. minyak rambut? ada. rokok? sudah dibakar juga ada. macis? ada. gayung? ada. obat nyamuk? ada. salep? ada. obat tidur, obat pusing, obat batuk? ada. ketan, kacang ijo dan kelapa? ada. lilin? ada. kulkas? ada. televisi? ada. permen? ada. sirup dan teh? ada. coklat? ada. susu? kemasan yang bagaimana? ada. kamper? ada. lampu? terang yang bagaimana? ada. buku tulis? ada. eskrim? ada lagi kak? dasi dan seragam sekolah? ada. gesper? mau diikat di mana? ada. ransel dan kaos kaki? ada. catur, halma dan ular tangga? ada. ponsel? ada. pulsa? ada. lem? ada. jepit rambut? ada. selang? ada. binder, kertas karton, kertas kado, sarung tangan, kalung, cincin, gelang dan topi ulang tahun? ada. penggaris, pensil, papan jalan dan jas hujan? ada. mukena, sajadah dan sarung? ada. tempat pensil, kalkulator dan kacamata? ada. dompet, kipas, baterai, sisir, masker, bingkai, jam dinding dan jam tangan? detik berapa? ada. sepatu, boneka dan mikrofon? ada. kabel? untuk menghubungi langkah? ada. pasir, kayu, gergaji dan sapu? ada. kapur, stempel, paku, palu dan plastik? ada. komputer, papan tulis, penghapus, baskom, gelas, piring, mangkok, garpu, teko, sumpit, modem, proyektor, payung dan celengan? nominalnya? ada. kaca, parfum dan bedak? biar kece. ada. bantal, guling, tisu, gorden dan sofa? empuk tidak? ada. kunci, kasur, tangga, lemari, pintu, mesin cuci, keramik dan stiker? warna apa? ada. koper, kamera, tripod, hanger, radio dan parabola? ada. raket, antena, kompor, panci dan spanduk? ada. genteng dan sendal? berapa langkah? ada. apa lagi kak? apa? puisi? maaf sekali, untuk yang itu ternyata kami tidak menjual.
Terpelanting
1/
jarum suntik itu masih meliuk
dan tak mau pamit
ada dua yang kau inginkan:
tak ada rotan cari ke hutan
atau menang jadi pulang, kalah jadi tanah.
2/
tuhan menciptakan sariawan dan sakit gigi
untuk mengistirahatkan mulut dari
jemaat fitnah dan nyinyir viral
tak berkesudahan.
3/
dan kopi adalah meditasi
untuk sengkarut
senandika
yang nyangkut
di sukma mereka
siapa saja.
baca juga: Puisi-puisi Sengat Ibrahim
Ranjau Segara
kismat dari buih pasir telah terpejam
oleh guncangan air yang melesap
implosi dari bibir kapal menuju deru parak perihmu.
di atas dek berumur 200 detik dari langkah dermaga
sendok dan lampu panggung menjamu perjalanan layar ponsel mereka
di atas kapal pesiar, semua akan baik-baik saja sayang
tak perlu gusar tentang mitos-mitos
yang berkelindan dalam bisik telingamu
serena, batu es, karang, muslihat kapal terbang
dan legenda penghancur harapan tak usah kau dengar
sini, kemari bersamaku berdansa di panggung
menikmati musik klasik dan pertunjukan teater
yang menggema tubuh kita berdua
tak usah kau dengar sayang
ibumu baik-baik saja di rumah.
tak ada malin kundang lagi
tak ada batu yang mau menjadi beberapa dari kita
mari kita nikmati kerlipan cahaya
bersama bir yang masih menganggur dari dekapan bibirmu
tak usah kau dengar sayang
tak perlu kita berenang di laut itu
nanti hiu akan memakanmu.
coba kita selami kolam renang yang ada di kapal ini
jus jeruk dan cahaya matahari
akan jadi paket menggemaskan buatmu
mesin-mesin itu sudah melukiskan kebahagiaan kita
pada cuaca yang bersahabat, tiket surga perjalanan,
miniatur kota dan celotehan cerdas di mangkuk sarapan
pegawai yang mandi dalam bahasa asing
membersihkan daki-daki di dahi kita, sayang
perihal isi laut sudah diwakilkan oleh karyawan mereka
yang membuat patung dari kulit ikan
tak usah kau dengar sayang, tak ada bajak laut di sini
mereka sudah kubuat tenggelam
oleh rudal yang kubeli di pasar ikan kemarin
bom dalam tubuhmu juga tak akan meledak sekarang
coba kita tunggu 2 menit—dari sajak ini selesai dibaca, apa ada reaksi?
Swafoto
Tanganmu basah. Meja makannya banjir. Selfie. Lautnya kering. Pasirnya tandas. Selfie. Gunungnya terbang. Pohonnya dansa. Selfie. Mobilnya minjam. Rodanya bundar. Selfie. Panggungnya roboh. Lampunya tandas. Selfie. Bajunya basah. Keringatnya kering. Selfie. Rumputnya ranggas. Sayap belalang patah. Selfie. Kotanya olahraga. Jalan tidur siang. Selfie. Rambutnya belum keramas. Ketombe perang. Selfie. Keringatnya loncat. Jerawat debat. Selfie. Nasinya belum matang. Piring belum dicuci. Selfie. Buku belum dibaca. Kata-kata sidang isbat. Selfie. Bon lecek. Angka-angka muncrat. Selfie. Kameranya lagi dipinjam. Tangan keseleo. Selfie. Mukanya lagi disewa. Mata sedang kondangan. Selfie. Fotonya nyebur ke sumur. Bayangannya tamasya ke pusat perbelanjaan di desa. Selfie menuju 30 detik dari sekarang.
Kau Selalu Ingat
kau selalu ingat dengan
perjumpaan mata yang tiba-tiba
di sudut rak buku perpustakaan,
kutemui kau dalam sunyi yang gaduh
yang tenang dalam pandangan,
yang berisik dalam gemuruh jantung
kau selalu ingat dalam lautan wacana
yang mengabdi pada kalimat padat
senantiasa memeluk kita dari kepayahan makna
kau selalu ingat pada halaman berapa
kita dipertemukan buku
lalu bersimpuh pada lipatan kertas yang aku tandai
bersama jari lentikmu
kau selalu ingat lewat jalan mana
kita akan tiba pada rumah
yang kita bangun beratap pada dongeng,
berbantal peribahasa
dan berselimut puisi
kau selalu ingat akan ingatan
yang suka lenyap
diterkam kebuasan jam tangan
yang telah kehabisan baterai
karena aku malas menggantinya dengan yang baru
kau selalu ingat pada bab dan paragraf berapa kita tersesat
dalam peran yang mencoba menculik kita
lewat asa dan subteks
yang kita kunyah sehari-hari
kau selalu ingat akan pertunjukan-pertunjukan kitsch
yang kita tonton karena hanya
merasa tidak enak saja
terhadap undangan teman yang dialamatkan
pada kita
kau selalu ingat bersama ingatan kita yang mulai lumpuh
diserang kawanan hanyut dan takut
kau masih ingat.
Empat Peribahasa dalam Kanvas
1.
Membelah dada melihat hati.
Kau harus tahu aku punya peribahasa, maksudku aku punya pelukis favorit yang gemar akan peribahasa. Pelukis yang kukenal baik ini terkenal pendiam dan pemalu. Entah ia diam karena menahan sakit perut, dan entah ia pemalu karena pernah ketahuan buang air besar sembarangan. Sudahlah, yang pasti kau harus tahu ini: Ia malu terhadap perempuan. Maka sebagai pengganti ia kerap mengabaikan perempuan di lukisannya.
Perempuan yang ia temui kerap mempertemukan lubuk hati dan denyut nadi. Ia tak pernah berbicara serius dengan perempuan, kecuali dengan ibunya. Ia bernyanyi setiap pagi dengan Salvadore Dali dan Lionel Messi. Kau tahu, ia pernah hampir di penjara karena ia terlalu sering mengikuti perempuan yang ia gemari. Ia menguntit perempuan itu, untuk dapat melukisnya. Bukan melukis di mimpi, tapi di tebing hati. Beberapa tahun kemudian dengan berat hati ia menjual lukisan kesayangannya itu karena butuh makan. Sudah lama ia tak menelorkan galeri terbarunya.
2.
Ada harga ada rupa.
Setelah ditimbang-timbang, lukisan itu tidak jadi dijual. Ia merasa tak pantas mendapatkan harga rendah dengan usaha dan jerih payah telah membayar banyak lelah.
3.
Jauh di mata dekat di hati.
Meski tubuh asli perempuan yang didapati secara acak itu telah hilang entah ke mana, tapi lukisan itu tetap setia menemani hari-harinya. Lukisan itu terasa lekat, perempuan itu fatamorgana saja. Dan kau masih belum menyaksikan lukisan di sajak ini.
4.
Seberat-berat mata memandang, berat juga bahu memikul.
Lukisan itu selalu dipandangnya. Tiap pagi sampai pagi lagi, tiap hari sampai hari lagi. Sudah dua hari ia tidak makan, namun menurutku ia masih kenyang dengan lukisan perempuan favoritnya itu. Ah, aku salah kira. Peribahasa favoritnya mungkin? Lelang di galeri itu tak terhindarkan. Ya.
Empat peribahasa itu
sedang melukis petuah di kanvasnya
mengarsir garis-garis
di lanskap peluk
penuh karam
Galeh Pramudianto, lahir di Tangerang Selatan, Banten, 20 Juni 1993. Bekerja sebagai pendidik dan salah satu pendiri media Penakota.id. Buku puisinya berjudul Skenario Menyusun Antena (2015).